Pulau Haruku adalah salah satu pulau kecil yang berada pada gugusan Pulau - pulau Lease (Ambon, Haruku, Saparua, Nusalaut, Pombo dan Molana), yang terletak di sebelah Timur Kota / Pulau Ambon . Sebagaimana desa - desa lain di Maluku, maka demikian juga halnya di negeri - negeri (desa) di pulau Haruku, hukum adat sasi sudah ada sejak dahulu kala. Belum ditemukan data dan informasi autentik tentang sejak kapan sasi diberlakukan di desa ini. Tetapi, dari legenda atau cerita rakyat setempat, diperkirakan pada tahun 1600-an, sasi sudah mulai dibudayakan di pulau Haruku. Pada zaman itu kepercayaan masyarakat masih dipengaruhi oleh kehidupan dengan alam sekitarnya (Animisme dan Dinamisme), hal ini menyebabkan secara turun temurun hubungan dengan alam selalu diwarnai dengan upacara atau ritual seperti Sasi.
Sasi dalam bahasa Ternate (Maluku Utara) mempunyai arti sumpah atau janji. Ini dikaitkan dengan pencegahan para prajurit dari disersi atau penyelewengan kesetiaan terhadap kesultanan Ternate. Sumpah dan janji ini membawa sanksi, bahwa siapa yang menyeberang laut (meninggalkan Kesultanan-Red) akan binasa, siapa yang masuk hutan (memberontak-Red) akan binasa pula (Tobo dai mangalo aka bodito, ana wosa tomabanga aka bodito moi-moi).
Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakekatnya adalah norma hukum adat yang berlaku di pulau Haruku, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga / penduduk setempat.
Sasi memiliki peraturan - peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat yang disebut “Saniri”. Di pulau Haruku Dewan Adat disebut nama dengan Saniri'a Lo'osi Aman Haru-ukui, atau "Saniri Lengkap Negeri Haruku". Keputusan kerapatan Dewan adat inilah yang dilimpahkan kewenangan pelaksanaannya kepada lembaga Kewang. Kewang adalah “Lembaga Adat dibawah Dewan Adat/Saniri yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan pelaksanaan peraturan – peraturan Sasi.
Lembaga Kewang di pulau Haruku Haruku dibentuk sejak Sasi ada dan diberlakukan di desa.
Struktur kepengurusan Lembaga Kewang adalah sebagai berikut:
1. Seorang Kepala Kewang Darat
2. Seorang Kepala Kewang Laut
3. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Darat;
4. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Laut;
5. Seorang Sekretaris
6. Seorang Bendahara
7. Beberapa orang Anggota Kewang (Darat dan Laut).
Adapun para anggota Kewang dipilih dari setiap soa (marga) yang ada di Haruku. Sedangkan Kepala Kewang Darat maupun Laut, diangkat menurut warisan atau garis keturunan dari datuk - datuk pemula pemangku jabatan tersebut sejak awal mulanya dahulu. Demikian pula halnya dengan para pembantu Kepala Kewang. Sebagai pengawas pelaksanaan sasi, Kewang berkewajiban :
a. Mengamankan Pelaksanaan semua peraturan sasi yang telah diputuskan oleh musyawarah Saniri Besar ;
b. Melaksanakan pemberian sanksi atau hukuman kepada warga yang melanggarnya ;
c. Menentukan dan memeriksa batas-batas tanah, hutan, kali, laut yang termasuk dalam wilayah sasi;
d. Memasang atau memancangkan tanda-tanda sasi; serta;
e. Menyelenggarakan Pertemuan atau rapat-rapat yang berkaitan dengan pelaksanaan sasi tersebut.
Di negeri - negeri pulau Haruku, dikenal empat jenis pengelolaan sasi, yaitu:
· a. Sasi Laut ; yang menjadi kewenangan Kewang Laut
· b. Sasi Kali ; yang menjadi kewenangan adalah Kewang Laut dan Kewang Darat.
· c. Sasi Hutan ; yang menjadi kewenangan Kewang Darat (khusus Hutan Mangrove menjadi tanggung jawab Kewang Darat / Laut)
· d. Sasi dalam Negeri (Desa) ; menjadi kewenangan Kewang Darat
Maluku Tengah (Pulau Seram) memiliki keyakinan sasi yang berkaitan dengan arwah leluhur, dianggap memiliki ruang kehidupan di antara manusia yang masih hidup. Tempat-tempat tertentu diberi hukum sasi agar masyarakat tidak memasuki tempat-tempat itu.
Dalam perkembangannya, sasi di Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease (Haruku, Nusalaut, dan Saparua) lebih merupakan larangan terhadap masyarakat agar tidak memakai atau mengambil berlebihan hasil hutan dan hasil laut. Pengertian inilah yang lebih dikenal di Maluku sekarang.
Dalam buku “Sasi Aman Haru-Ukui”, Eliza Kisya yang pernah menjadi kewang (penjaga atau polisi adat) menuliskan, di Pulau Haruku dikenal beberapa sasi, yaitu sasi laut, sasi kali, dan sasi dalam negeri. Sasi laut misalnya, kelompok masyarakat yang ingin melindungi ikan tertentu, dipasangi sasi. Dalam waktu tertentu satu tahun atau dua tahun, masyarakat yang sedang disasi dilarang menangkap ikan.
Demikian juga sasi hasil hutan, masyarakat dilarang mengambil hasil hutan berupa kenari, cempedak, pinang dalam waktu tertentu. Jika dilanggar di samping sanksi moral juga sanksi material atau uang yang dikenakan pada pelanggar.
Kemudian, sasi dalam negeri di Pulau Haruku, lebih merupakan sasi etika. Misalnya, dilarang laki-laki berkain sarung di siang hari, kecuali sakit. Sebaliknya, perempuan dilarang sewaktu pulang dari sungai hanya memakai kain sebatas dada. Kalau melanggar dikenai denda Rp 10.000.
Dari berbagai bentuk sasi itu, muaranya hanya satu, kearifan manusia terhadap alam. Dalam konteks itulah Eliza Kisya menyatakan, karena peraturan sasi pelaksanaannya menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antarmanusia. Sasi juga berarti upaya memelihara tata krama hidup.
Keluhuran budaya sasi itulah menurut Herman Koedoeboen, seorang jaksa yang pernah mempelajari hukum sasi, yang kemudian dilantik menjadi Bupati Maluku Tenggara-sasi tidak saja memiliki kekuatan religius-magis, tetapi juga memiliki fungsi sosial yang tinggi. Artinya, hukum itu berada dalam aura yang sangat humanis, mengangkat martabat hidup manusia dalam sinerginya dengan lingkungan. "Di sini ada pendidikan kepada umat manusia agar tidak bertindak anarkis," katanya.
Dalam perkembangannya, sasi di Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease (Haruku, Nusalaut, dan Saparua) lebih merupakan larangan terhadap masyarakat agar tidak memakai atau mengambil berlebihan hasil hutan dan hasil laut. Pengertian inilah yang lebih dikenal di Maluku sekarang.
Dalam buku “Sasi Aman Haru-Ukui”, Eliza Kisya yang pernah menjadi kewang (penjaga atau polisi adat) menuliskan, di Pulau Haruku dikenal beberapa sasi, yaitu sasi laut, sasi kali, dan sasi dalam negeri. Sasi laut misalnya, kelompok masyarakat yang ingin melindungi ikan tertentu, dipasangi sasi. Dalam waktu tertentu satu tahun atau dua tahun, masyarakat yang sedang disasi dilarang menangkap ikan.
Demikian juga sasi hasil hutan, masyarakat dilarang mengambil hasil hutan berupa kenari, cempedak, pinang dalam waktu tertentu. Jika dilanggar di samping sanksi moral juga sanksi material atau uang yang dikenakan pada pelanggar.
Kemudian, sasi dalam negeri di Pulau Haruku, lebih merupakan sasi etika. Misalnya, dilarang laki-laki berkain sarung di siang hari, kecuali sakit. Sebaliknya, perempuan dilarang sewaktu pulang dari sungai hanya memakai kain sebatas dada. Kalau melanggar dikenai denda Rp 10.000.
Dari berbagai bentuk sasi itu, muaranya hanya satu, kearifan manusia terhadap alam. Dalam konteks itulah Eliza Kisya menyatakan, karena peraturan sasi pelaksanaannya menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antarmanusia. Sasi juga berarti upaya memelihara tata krama hidup.
Keluhuran budaya sasi itulah menurut Herman Koedoeboen, seorang jaksa yang pernah mempelajari hukum sasi, yang kemudian dilantik menjadi Bupati Maluku Tenggara-sasi tidak saja memiliki kekuatan religius-magis, tetapi juga memiliki fungsi sosial yang tinggi. Artinya, hukum itu berada dalam aura yang sangat humanis, mengangkat martabat hidup manusia dalam sinerginya dengan lingkungan. "Di sini ada pendidikan kepada umat manusia agar tidak bertindak anarkis," katanya.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar